Hari-hariku kini terasa bising, dipenuhi gema dari bayang-bayangmu yang terus mengikuti langkahku. Begitu halus caramu melepaskan aku, seakan kehadiranku hanyalah persinggahan singkat dalam hidupmu. Padahal sejak awal, kaulah yang menanamkan keyakinan bahwa kebahagiaan itu benar-benar ada—nyata, sederhana, dan mungkin untuk diraih. Namun keyakinan yang kaubangun dengan hati-hati, kauruntuhkan begitu saja, meninggalkan sepi yang tidak pernah kuminta.
Lalu kau memintaku menjauh, katanya hanya sementara, demi fokus pada pendidikanmu. Namun kenyataannya jauh lebih pahit—di balik alasan yang terdengar mulia itu, kau telah memilih perempuan lain untuk kauhibur ketidakpastianmu. Maka aku bertanya dalam diam, apakah ini yang kau sebut fokus? Jika benar demikian, untuk apa sejak awal kau memintaku percaya? Untuk apa menanam harapan yang tak pernah berniat kau jaga?
Sungguh ironis, saat aku menuntut perlakuan yang layak, kau hanya berkata bahwa kau berharap kejadian ini tidak menimpa perempuan yang kini membuatmu nyaman. Seolah luka yang kauberikan hanyalah catatan kecil yang tidak layak dibahas. Padahal, kau tidak pernah mengerti bahwa goresan-goresan yang kau sisakan sudah cukup membuat batinku roboh perlahan. Aku bukan sosok yang pandai menyembunyikan duka; dan tak ada ruang tersisa di dalam diriku untuk menampung semua sesaknya perlakuanmu.
Kata-kata manis yang dulu kau rangkai dengan begitu pandai kini berubah menjadi kepedihan yang sulit diredam. Kalimat yang dulu menenangkan kini menjadi pengingat getir tentang bagaimana janji bisa lewat begitu saja tanpa pernah dipertanggungjawabkan. Yang paling menyakitkan bukan karena ucapannya berubah, tetapi karena bagimu semuanya tampak seolah tak pernah memiliki arti.
Maka inilah balasanku—bukan dengan amarah yang membara, tetapi dengan ketegasan yang lahir dari jiwa yang telah belajar bahwa harga diri tidak pernah boleh dipertaruhkan. Aku memilih untuk tidak lagi mengejarmu, tidak lagi memintamu kembali, tidak lagi memeluk harapan yang tak pernah kau hargai. Aku membalasmu dengan kepergian yang tenang—tanpa drama, tanpa memohon, tanpa menoleh ke belakang. Kelak, ketika waktumu tiba untuk memahami arti ketulusan, kau akan mendapati bahwa kehilangan ini bukanlah milikku, melainkan milikmu.
Dan akhirnya, aku memilih untuk pasrah. Bukan karena kalah, tetapi karena ada saatnya hati berhenti memaksa sesuatu yang tak pernah ingin tinggal. Tidak semua yang pecah harus disatukan kembali; beberapa luka justru menuntunku menemukan kembali diriku yang sempat tersesat. Kini aku berjalan pelan, membawa sisa-sisa keberanian yang masih ada, merangkul ketenangan yang dulu sempat hilang. Aku pasrah, bukan karena cinta ini lenyap, melainkan karena aku mengerti bahwa melepaskanmu adalah cara paling anggun untuk tetap menjaga diriku tetap utuh.
Pada akhirnya, aku melangkah dengan hati yang pernah patah namun tetap memilih lembut; sebab dari semua robekan yang kaubuat, aku belajar bahwa ketegaran bukan soal bertahan, tetapi kemampuan untuk melepaskan sesuatu yang tak lagi memberi kedamaian. Dan kini, dengan langkah yang lebih tenang, aku kembali menjadi diriku sendiri—yang tidak meminta apa-apa, tidak menuntut siapa-siapa, hanya ingin bahagia tanpa menunggu siapa pun untuk menentukan nilainya.
EmGe;

Komentar