Di batas kota tempat persinggahan angkutan umum yang menjadi pusat perbelanjaan kota selalu ramai di kunjungi warga dari berbagai daerah. Mereka datang dengan tujuan yang sama yaitu untuk membeli keperluan rumah tangga seperti perlengkapan dapur. Namun, kali ini ada yang berbeda dari biasanya. Karena sebentar lagi liburan sekolah berakhir dan semester baru pun akan segera tiba. Puluhan pedagang musiman turut meramaikan pusat perbelanjaan tersebut, mareka datang jauh-jauh dari pelosok desa demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Tak hanya itu, pedagang yang hanya bermodalkan barang yang akan di jual rela menyewa rumah dengan menjadikan keuntungan sebagai taruhannya. Hampir semua pedagang yang ada di pusat perbelanjaan itu mengenalku. Hal ini di karenakan aku adalah anak juragan pasar yang biasa menggantikan pekerjaan ayahku untuk menagih iuran pasar selama liburan sekolah. Awalnya, aku risih untuk mejalankan aktivitas tersebut yang menurut sebagian orang sangat sulit. Anggapan sulit yang mereka keluhkan di landaskan pada daerah asal mereka yang berbeda-beda. Ada yang cara bicaranya lembut dan ada pula yang halus bahkan bahasa mereka berbeda pula.
Tetap teguh pada pendirian, itulah prinsip yang selalu kutanamkan. Tidak menyerah sebelum bertindak dan patuh pada perintah kedua orang tua telah menjadi kebiasaan yang mengakar dalam diriku. Pendapat orang lain di sekitar yang tertuju padaku hanya kujadikan sebagai masukan dan akan lebih percaya setelah bukti itu nyata adanya. Sama halnya ketika mereka beranggapan bahwa sulitnya menagih iuran di pasar ketika mental belum terlatih. Perbedaan di sana hanya bisa menimbulkan perpecahan dan konflik. Namun, aku tetap semangat melakukan aktivitas yang di limpahkan ayahku. Hari ini, adalah hari pertamaku menjalankan pekerjaan ayah. Ku langkahkan kaki dengan penuh semangat sambil ku selingi senyuman di sepanjang lorong pusat perbelanjaan tersebut. Dengan menggunakan bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia ku ajak mereka berkomunikasi sambil kuberikan mereka selembar kwitansi yang di tukar dengan uang Rp 2.000,- dan akhirnya aku bisa melakukannya. Tak sedikit dari mereka yang membalasku dengan bahasa daerah yang sama sekali tidak ku pahami namun itu bukanlah penghalang untuk berkomunikasi dengan mereka. Selipan senyuman serta gerakan tangan dan kepala sedikit menunduk tanda menghargai dan menghormati mereka adalah senjata utamaku.oleh karena itu, aku bisa mengenal mereka satu per satu.
di depan gerbang pasar, aku mendatangi sebuah warung makan untuk mengisi perutku yang mulai keroncongan. Kepada pelayan warung, aku memesan semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis penyegar dahaga. Sambil menanti pesanan tersebut tiba, aku sedikit termenung. Betapa hari ini sangat berkesan bagiku, pelajaran dan pengalaman telah ku dapat dalam waktu sekejap. Ternyata Indonesia memang kaya akan budaya dan bahasa sehingga menimbulkan perbedaan. Namun, dengan perbedaan itu justru akan lebih membawa kita dalam satu bingkai persaudaraan serta saling menghargai satu dengan yang lainnya.
Komentar