Hidup di tengah keluarga sederhana adalah sebuah anugerah terindah yang telah tersaji nyata dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Keadaan seperti itulah yang menyadarkanku mengenai akan arti dari sebuah kesederhanaan yang selalu menyajikan kebahagiaan. Terlahir dari sepasang insan yang merajut kasih sayang hingga mengantarkanku menggapai segala mimpi dan angan. Ayahku adalah seorang petani di sawah yang mengumpulkan pundi-pundi rupiah di bawah kejamnya terik matahari. Beliau seorang pekerja keras dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Ibuku adalah seorang perempuan hebat yang mengurusi urusan rumah tangga serta marawat dan membesarkanku bersama kedua adikku. Pengorbanan mereka sungguh sangat berarti, bahkan mereka rela mengambil sebuah resiko besar demi ketiga putrinya ke gerbang kesuksesan. Hal itulah yang menjadi inspirasi dan motivasi terindah sehingga perjuangan itu selalu ada.
Menjadi anak pertama tentunya harus memiliki cara pandang dan bersikap layaknya sang motivator yang memberikan contoh kepada kedua adik perempuanku. Kami bertiga masih sedang menuntut ilmu dalam bidang studi dan tingkatan yang berbeda. Dana yang kami gunakan dalam menempuh pendidikan hanya bersumber dari pendapatan ayahk di sawah. Bahkan kerap kali tanah yang di wariskan dari kakek melayang diganti oleh rupiah saat masa pembayaran untuk pendidikan tiba. Hal ini sangat menguras keuangan keluarga, belum lagi mengenai kebutuhan hidup sehari-hari serta munculnya beberapa tagihan bulanan yang mengharuskan kedua orangtuaku berpikir lebih kritis lagi.
Demi mendapatkan ilmu yang lebih banyak dan berkualitas serta dapat membantu meringankan beban orang tua, aku rela meninggalkan keluarga dan berjihad menuntut ilmu. Saat ini, aku tengah menempuh pendidikan di Salah satu Perguruan Tinggi yang letaknya sangat jauh dari daerahku. Sebagai seorang Mahasiswi yang masih berada di semester muda adalah langkah awalku dalam memulai kehidupan yang baru. Sebuah perjuangan hidup yang mengajarkanku arti dari sebuah kenyataan. Memilih untuk melanjutkan pendidikan yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal membuatku harus berpisah dari keluarga dan melanjutkan hidup melalui perantauan yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hal ini mengajarkanku untuk hidup lebih mandiri, terlebih lagi aku sama sekali tak mengenal seluk beluk dari kota tersebut sebelumnya. Awalnya, aku sangat sulit untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Suatu lingkungan yang sangat berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Namanya juga kota, hal yang paling terkenal dari label sebuah kota adalah pergaulan. Jauh sebelum aku memulai kehidupan baru di rantauanku, orang tua beserta keluarga tak bosan-bosannya memberikan nasehat mengenai sebuah pergaulan di kota. Mereka bahkan memberikan gambaran dan dampak yang membuatku sangat berhati-hati dalam beradaptasi di lingkungan pergaulan. Selain itu, aku dituntut untuk mandiri dalam segala hal. Mulai dari mengatur keuangan hingga mengurusi makanan semuanya sudah menjadi urusanku. Menjalani semua itu tak semudah apa yang selalu terpikirkan dibenakku. Kerap kali aku meneteskan air mata, berharap bahwa tetasan air mata itu akan membantuku dalam meminimalisir kerasnya kehiduupan di rantauan. Namun nyatanya tidak, tetesan air mata hanyalah sebagai pertanda bahwa aku masih belum bisa berpaling dari kemanjaan yang telah digoreskan oleh kedua orang tuaku selama ini.
Hidup dalam segala pengorbanan memang sulit, namun akan terasa indah jika di awali dengan niat tulus dan langkah yang maksimal sehingga hasil yang di peroleh pun akan sesuai dengan harapan. Pengorbanan kedua orang tuaku memberiku pengalaman hidup yang lebih berarti. Terlebih lagi ketika ujian dan cobaan datang silih berganti tanpa jeda. Oleh karena itu, jangan sesekali menjadikan pengorbanan sebagai penyiksa hidupmu. Karena kelak, dengan pengorbanan kamu bisa meraih segalanya.
Samata-Gowa, November 2017
Marwah Gama
marwahgama12.blogspot.com
Komentar