Terlahir ditengah keluarga yang hidup dalam serba
kecukupan menjadikanku harus berpikir lebih mandiri dan semaksimal mungkin
mampu meringankan beban yang dipikul oleh kedua orang tuaku. Sebagai anak
sulung dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan, seharusnya aku bisa
menjadi panutan bagi kedua adikku yang saat ini juga masih dalam proses
menempuh jenjang pendidikan dibidang dan tempat yang berbeda. Hal tersebut
menjadi salah satu alasan utama bagi ayahku yang kesehariannya dihabiskan
dengan bertani padi di sawah. Sebagai ayah yang sangat bertanggung jawab dan
mengerti akan peran dan tugasnya, beliau begitu giat membanting tulang demi
kelangsungan hidup aku, ibu dan kedua adik perempuanku. Begitupun dengan ibuku,
beliau merupakan sosok perempuan tangguh yang dengan sabarnya merawat dan
mengasuh kami dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Masih ada kenangan semasa kecilku
yang masih tersimpan rapi di memori ingatanku. Saat itu, aku masih berusia 5
tahun dan kedua adikku masing-masing berusia 2 dan 3 tahun. Menjelang waktu
maghrib tiba, ayahku belum saja menampakkan wajahnya dari sawah. Biasanya
beliau pulang jauh sebelum waktu maghrib tiba. Nampak rasa cemas yang begitu
dalam dari wajah ibu. Kedua adikku pun silih berganti menangis. Aku juga belum
terlalu mengerti akan keadaan, yang kulakukan saat itu hanyalah membantu ibuku
untuk membujuk adik-adikku. Rasa cemas sepertinya masih saja menyelimuti wajah
ibuku. Betapa tidak, ayahku sama sekali tak menampakkan wajahnya tanpa kabar. Hingga
akhirnya terdengar suara sepeda motor dari arah utara menuju pagar depan
rumahku. Aku kemudian berlari gembira sambil berteriak memanggil ayah. Kedua
adik-adikku pun ikut serta berlari di belakangku. Sepertinya mereka juga begitu
bahagia. Ternyata seisi rumah memang begitu cemas kala ayah telat pulang dari
sawah meski dengan rasa cemas yang di tunjukkan berbeda.
Saat ini, aku tengah menempuh
pendidikan dijenjang perguruan tinggi. Itu artinya, beban orang tuaku bukannya
justru ringan tetapi malah bertambah berat. Aku terbilang beruntung karena bisa
mengenyam pendidikan di perguruan tinngi negeri yang katanya pembayarannya
terbilang sedikit lebih kecil disbanding perguruan tinggi yang lain. Tetapi,
sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung yang letaknya sangat jauh dari
perguruan tinggi tersebut mengharuskanku memilih untuk manjadi anak rantauan
dengan menyewa sepetak kamar kost yang akan kuhuni bersama teman perempuanku.
Hal tersebut juga memerlukan biaya yang begitu besar, terlebih lagi biaya hidup
dan biaya-biaya lain yang timbul secara dadakan menyebabkan kedua orangtuaku
harus berpikir lebih cepat dan tanggap. Aku sama sekali membenci keadaan yang
seperti ini. Di umurku saat ini, betul-betul aku belum mampu menghasilkan
pendapatan sendiri. Berbagai usaha telah kucoba namun tetap saja hasilnya
sangat mengecewakan. Menyalahkan diri sendiri terkadang merupakan caraku dalam
menghadapi situasi seperti ini. Ketika semua ini kucurahkan kepada kedua
orangtuaku, tetap saja mereka hanya menyuruhku untuk tetap fokus dalam
menjalani proses pendidikan.
Memang aku terlahir dari keluarga
sederhana. Namun, karena cinta dan kasih sayang yang selalu hadir dalam
keluarga membuatku merasakan kehidupan yang luar biasa. Hidup memang adalah
pilihan sehingga aku memilih keluarga sebagai tempatku untuk selalu kembali
kemanapun dan sejauh apapun kakiku melangkah. Selalu ada rindu yang hadir kala
ada jarak dari keluarga. Hidup juga butuh perjuangan dan semangat, karena itu
keluargalah yang menjadi alasanku hingga akhirnya aku memilih untuk selalu
berjuang menemukan impian sejati. Aku di didik dan dibesarkan dengan
pengorbanan, aku bisa berjuang menemukan impianku karena pengorbanan. Terima
kasih kepada kalian yang telah mengajarkanku arti dari sebuah pengorbanan.
Pengorbanan bukan sekedar kata motivasi yang hanya di ucapkan melalui bibir
saja. Namun pengorbanan adalah sebuah kata yang harus dibuktikan dengan
perlakuan nyata dalam bentuk perjuangan sejati.
Donggala-Sulawesi Tengah, Februari 2018
Marwah Gama
Komentar